Ikthtilath adalah percampuran antara laki-laki dan wanita. Ikhtilat adalah lawan dari infishal
(terpisah). Pada dasarnya, Islam telah mewajibkan pemisahan antara
wanita dan laki-laki. Pemisahan ini berlaku umum dalam kondisi apapun,
baik dalam kehidupan umum maupun khusus, kecuali ada dalil-dalil yang
mengkhususkannya.
Sebgelum membahas tentang ikhtilath, kita mesti memahami terlebih dahulu kaedah-kaedah interaksi (ijtima’) antara laki-laki dengan wanita. Kaedah interaksi antara seorang laki-laki dengan wanita dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, jika suatu aktivitas memang
mengharuskan adanya interaksi antara pria dan wanita, maka dalam hal
semacam ini seorang laki-laki dan wanita diperbolehkan melakukan
interaksi, namun hanya terbatas pada kepentingan itu saja. Sebagai
contoh, adalah aktivitas jual beli. Di dalam aktivitas jual beli, mau
tidak mau harus ada penjual dan pembeli. Harus ada pula kegiatan
interaktif antara penjuual dan pembeli, misalnya bertanya tentang berapa
harganya, barang apa yang hendak dibeli, boleh ditawar atau tidak, dan
semua hal yang berkaitan dengan jual beli. Dalam keadaan semacam ini,
maka seorang laki-laki dibolehkan berinteraksi dengan kaum wanita
karena memang aktivitas tersebut mengharuskan adanya interaksi.
Aktivitas tersebut tidak akan pernah terwujud tanpa adanya interaksi.
Demikian juga dalam hal kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan
pendidikan, perburuhan, pertanian, dan kegiatan-kegiatan lain yang
mengharuskan adanya interaksi; maka dalam keadaan semacam ini seorang
laki-laki diperbolehkan berinteraksi dengan seorang wanita.
Hanya saja, tatkala seorang laki-laki berinteraksi dengan seorang
wanita dalam aktivitas-aktivitas seperti di atas, ia harus membatasi
dirinya pada hal-hal yang hanya berhubungan dengan aktivitas tersebut.
Ia dilarang (haram) melakukan interaksi dengan wanita tersebut di luar
konteks perbuatan tersebut. Misalnya, tatkala seorang laki-laki hendak
membeli buku kepada seorang penjual wanita, maka ia hanya diperbolehkan
berinteraksi pada hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas jual beli
buku itu saja. Tidak dibenarkan ia bertanya atau melakukan interaksi di
luar konteks jual beli buku. Misalnya, ia menyatakan, “Wah buku ini keren, seperti pembelinya.”
Atau hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan jual beli. Namun
jika seseorang telah usai melakukan jual beli, kemudian ia hendak
bertanya arah jalan, misalnya, maka ia diperbolehkan bertanya hanya
dalam hal-hal yang berhubungan dengan arah jalan itu saja, tidak boleh
lebih.
Hal lain yang patut diperhatikan adalah, meskipun seorang laki
diperbolehkan berinteraksi dengan wanita dalam aktivitas-aktivitas
semacam itu, akan tetapi ia tetap harus memperhatikan hal-hal yang
berhubungan dengan infishal (pemisahan). Misalnya, tatkala
seseorang hendak membeli barang dari seorang wanita, maka ia tetap harus
memperhatikan jarak. Ia tidak diperbolehkan berdekatan, atau malah
memepet perempuan tersebut, atau misalnya duduk berhimpitan bersama
perempuan penjual itu perempuan tersebut, tatkala hendak membeli
barangnya. Meskipun dari sisi interaksi —dalam jual beli— diperbolehkan,
akan tetapi, ia tetap harus memperhatikan ketentuan mengenai infishal
(pemisahan). Demikian pula tatkala berada di bangku sekolahan. Meskipun
wanita dan laki-laki diperbolehkan berinteraksi dalam aktivitas
semacam ini –belajar mengajar—akan tetapi keterpisahan tetap harus
diperhatikan —dengan ukuran jarak. Sebab, kewajiban infishal
ini berlaku umum, lebih-lebih lagi dalam kehidupan umum. Oleh karena
itu, tidak diperkenankan murid laki-laki dan wanita duduk bersama dalam
sebuah bangku.
Kedua, jika suatu aktivitas sama sekali
tidak mengharuskan adanya interaksi antara keduanya, maka seorang
laki-laki dan perempuan tidak dibenarkan melakukan interaksi atau
pertamuan dalam aktivitas tersebut. Contohnya, adalah bertamasya,
berjalan ke sekolah, kedai, atau masjid. Seorang laki-laki diharamkan
berjalan bersama-sama dengan wanita bukan mahramnya dan melakukan
interaksi selama perjalanan tersebut. Sebab, interaksi dalam hal-hal
semacam ini tidak dibenarkan, dan bukan merupakan pengecualian yang
dibolehkan oleh syara’.
Adapun yang dimaksud dengan ikhtilath adalah campur baurnya laki-laki dan perempuan. Pada dasarnya, ikhtilath
itu dibenarkan dalam aktivitas-aktivitas yang diperbolehkan oleh
syara’. Terutama aktivitas yang di dalamnya mengharuskan adanya
interaksi (aktivitas model pertama). Misalnya, bercampur baurnya
laki-laki dan wanita dalam aktivitas jual beli, atau ibadah haji (Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nidzam al-Ijtimaa’iy fi al-Islaam, hal. 40).
Dalam kitab an-Nidzam al-Ijtimaa’iy, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan, bahwa “Oleh
karena itu, keterpisahan antara laki-laki dan wanita dalam kehidupan
Islam adalah fardlu. Keterpisahan laki-laki dan wanita dalam kehidupan
khusus harus dilakukan secara sempurna, kecuali yang diperbolehkan oleh
syara’. Sedangkan dalam kehidupan umum, pada dasarnya hukum asal antara
laki-laki dan wanita adalah terpisah (infishal). Seorang laki-laki tidak boleh berinteraksi (ijtima’)
di dalam kehidupan umum, kecuali dalam hal yang diperbolehkan,
disunnahkan, atau diwajibkan oleh Syaari’ (Allah SWT), dan dalam suatu
aktivitas yang memestikan adanya pertemuan antara laki-laki dan
perempuan, baik pertemuan itu dilakukan secara terpisah (infishal), misalnya, pertemuan di dalam masjid, ataupun pertemuan yang dilakukan dengan bercampur baur (ikhtilath), misalnya ibadah haji, dan dalam aktivitas jual beli.” (ibid, hal. 40).
Dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa ikhtilath (campur baur) berbeda dengan interaksi. Interaksi itu bisa berbentuk terpisah (infishal) maupun berbentuk ikhtilath
(bercampur baur). Kita juga bisa menyimpulkan bahwa bolehnya seseorang
melakukan interaksi dengan lawan jenisnya, bukan berarti membolehkan
dirinya melakukan ikhtilath. Sebab, ada interaksi-interaksi
yang tetap harus dilakukan secara terpisah, misalnya di dalam masjid,
dalam majelis ilmu dan dalam walimah, dan sebagainya. Adapula interaksi
yang dilakukan boleh dengan cara bercampur baur-baur, misalnya jual
beli, naik haji.
Pada interaksi-interaksi (pertemuan) yang di dalamnya boleh dilakukan dengan cara ikhtilath, maka seorang laki-laki diperbolehkan melakukan ikhtilath.
Misalnya bercampur baurnya laki-laki dan wanita di pasar-pasar untuk
melakukan aktivitas jual beli; bercampur baurnya laki-laki dan wanita di
Baitullah untuk melakukan Thawaf, bercampur baurnya laki-laki tatkala
berada di halte bus untuk menunggu bis, di tempat-tempat rekreasi dan
sebagainya. Namun demikian, walaupun mereka boleh berikhtilath dalam
keadaan ini, akan tetapi mereka tetap tidak boleh mengobrol,
bercengkerama, atau melakukan aktivitas selain aktivitas yang hendak ia
tuju. Misalnya, seseorang boleh bercampur baur dengan wanita di dalam
kendaraan umum, akan tetapi ia tidak boleh bercakap-cakap dengan wanita
yang ada di sampingnya, kecuali ada hajah yang syar’iy. Namun, jika
masih bisa dihindari adanya ikhtilah, akan lebih utama jika
seseorang tidak berikhtilath. Misalnya, memilih tempat duduk yang diisi
oleh laki-laki. Atau, negara bisa memberlakukan pemisahan tempat duduk
laki-laki dan wanita di kendaraan umum.
Akan tetapi, jika interaksi itu tetap mengharuskan adanya keterpisahan, maka ikhtilath tidak diperbolehkan. Misalnya, ikhtilathnya wanita dan laki-laki dalam walimah, di dalam masjid, di dalam bangku sekolah, dan lain sebagainya. Ikhtilath dalam keadaan semacam ini tidak diperbolehkan.
Demikianlah, anda telah kami jelaskan mengenai masalah ikhtilath dengan gamblang dan jelas. Wallahu a’lam bi al-shawab. [Syamsuddin Ramadhan]